Surat

Ini Ceritaku
2 min readJul 15, 2021

--

Rasa-rasanya banyak kupu-kupu dalam kepalaku. Menari membawa setumpuk surat putih dengan judul yang bermacam. Tak begitu jelas surat-surat mana saja yang hendak diberikan. Katanya itu tentang kabar Kemarin. Akhirnya kupesan banyak waktu, karena aku benar-benar ingin menerima semua surat itu. Menikmati. Dan kelak akan kugilir ke Besok, agar Besok berkenalan dengan Kemarin.

Surat pertama menanyakan kabarku. Kelopak mataku memanas, kepalaku terasa dicekam, hatiku mendayu. Senang sekali rasanya mendapat pertanyaan itu. Kupastikan akan bercerita banyak tentang seberapa lama kuhabiskan waktu dengan kata, seberapa syahdu aku beradu dengan malam, seberapa bulir yang jatuh ketika merindu.

Surat kedua kubuka dengan bahagia yang masih menyisa. Ternyata isinya potret kebahagiaan beberapa bulan lalu. Bersama keluargaku, dan sahabatku, dan tukang becak yang sering menyapaku di tengah perjalanan malam pulang ke kos, dan penjual rambutan yang rutin kusambangi di depan lorongku, dan bapak galon yang sering kusapa dengan suara yang keras mengagetkan, dan abang-abang seragam hijau yang selalu asik membagi tawa dan keluhnya di jalanan ibu kota. Bahagiaku makin memuncak.

Surat ketiga tak kalah antusias jemariku membuka, sampai-sampai sedikit sobek di ujung lipatannya. Menit kubuang percuma dengan tatap nanarku. Senyumku tidak hilang, hanya saja sedikit melengkung. Kelopak mataku kembali memanas. Ini surat yang paling bijaksana yang kuterima. Kupikir ini dikirim oleh Tuhan. Sebab cinta memenuhi hati. Dengan seksama, abjad itu terus berurut di penglihatan, hingga pada akhirnya berlabuh pada kalimat “Memang perlu merakit untuk meroket”.

--

--

Ini Ceritaku

Cara terbaik belajar adalah mendengarkan banyak hal dengan teliti, resapi, renungkan, dan tulis. Setelah itu baca dan koreksi sendiri di lain waktu. Ya gak?